Katanya, “Hidupku Penuh Aib.”

Data Buku
Judul Asli : Ningen Shikkaku
Judul Terjemah : Gagal Menjadi Manusia
Penulis : Dazai Osamu
Penerbit : Penerbit Mai
Penerjemah : Asri Pratiwi Wulandari
Penyunting : Ribeka Ota, Prisca Primasari
Penyelaras Aksara : Andry Setiawan
Desainer Sampul : @sukutangan
Tahun Terbit : Cetakan Pertama Maret 2020
Jumlah Halaman : 156 halaman
Peresensi : shopi m

Saya tidak terlalu mengenal sastra klasik, tapi saya tertarik dengan Dazai Osamu ketika teman saya bercerita tentang anime yang dia tonton meminjam nama-nama penulis terkenal di Jepang bahkan luar negeri. Seperti Dazai Osamu, Nakahara Chuuya, Agatha Christie, Fyodor Dostoevsky. Tidak hanya meminjam nama, karya-karya para penulis tersebut juga ikut eksis sebagai bentuk kekuatan supernatural yang mereka miliki.

Di anime tersebut diceritakan Dazai Osamu memiliki kepribadian yang ceria, tukang lawak, memiliki kekuatan bernama ningen shikakku–judul salah satu novelnya, tapi di balik kepribadian tersebut ada cerita-cerita menggores hati yang membuat miris.

Lantas bagaimana dengan isi dari Ningen Shikakku atau Gagal Menjadi Manusia ini?

Tokoh utama dalam buku ini adalah Oba Yozo. Diceritakan sebagai seorang yang hidup berkecukupan, tidak pernah merasa kesulitan dalam hidupnya, dan tidak memiliki konflik eksternal dengan orang lain. Namun, memiliki konflik internal yang sangat hebat. Dia bermasalah dengan dirinya sendiri, tepatnya dengan apa yang dipikirkannya tentang manusia dan hubungan antar manusia.

Oba Yozo selalu melihat manusia sebagai makhluk yang sulit dipahami dan aneh. Dia selalu gugup saat berinteraksi dengan manusia lain karena khawatir jika manusia lain mengetahui apa yang ada di dalam kepalanya lantas menganggapnya aneh karena tidak berpikir seperti manusia kebanyakan dalam masyarakat.

mungkin dapat disimpulkan bahwa aku sama sekali belum sama sekali memahami mekanisme hidup manusia. Aku sering dilanda kegelisahan, sebab konsep kebahagiaanku tampak sama sekali berbeda dengan konsep kebahagiaan semua manusia lain. Kegelisahan itu membuatku terjaga malam demi malam, meronta dan mengerang, bahkan sampai-sampai nyaris jadi gila (hlm 16)

Untuk menutupi keanehan dirinya, Oba Yozo menggunakan lawakan sebagai bentuk pertahanan diri. Juga agar dia bisa berbaur dengan manusia kebanyakan. Lawakan itu tidak hanya menipu orang lain, tapi juga menipu dirinya sendiri. Memberikan fatamorgana bahwa dia baik-baik saja yang akan menyeretnya ke konflik internal yang lebih besar dan membawa kerusakan mental dan fisik.

Membaca buku ini terasa seperti membaca buku diary, sudut pandang orang pertama juga turut berperan dalam memberikan perasaan membaca diary ini.

Tiap-tiap lembarnya membuat saya merasa murung dan agak ketakutan, bagaimana Oba Yozo menggambarkan perasaannya serta pemikirannya tentang manusia benar-benar ekstrim dan terasa baru bagi saya.

Selesai membaca buku ini saya merasakan perasaan tidak nyaman yang asing dan bertanya tanya sebenarnya apa yang hendak disampaikan oleh penulis? Kegundahannya terhadap hubungan dengan manusia? Atau ada makna lain yang gagal saya tangkap? Yang pasti tiap-tiap lembar dari buku ini selalu memberikan perasaan tidak nyaman dan membuat saya bertanya tanya bagaimana bisa sang tokoh memiliki pemikiran seperti itu.

Banyak misteri yang sepertinya asyik untuk dibahas di dalam buku ini, tapi saya pribadi merasa tidak terlalu nyaman untuk mencari tahu lebih dalam. Jadi saya putuskan untuk berhenti bertanya-tanya setelah tiba di epilog.

Dari sisi terjemahan, terjemahannya sangat bagus, mudah dibaca, mengalir, ada footnote yang membantu saya memahami tentang hal-hal yang terjadi di latar waktu novel ini.

Buku ini bukan buku yang bisa saya baca dalam sekali duduk, walaupun jumlah halamannya tidak terlalu banyak. Saya perlu memberi jeda berkali-kali agar mood saya tidak terpengaruh.

Saya tidak merekomendasikan membaca buku ini ketika sedang memiliki masalah mental, sedang badmood, ataupun dibaca oleh remaja yang ada di fase suka ikut-ikutan tanpa menyaring terlebih dahulu. Selain karena pemikiran, ada juga adegan-adegan seperti percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat, mabuk, serta berselingkuh yang memberikan bisa memberikan efek buruk.

Meski terasa relevan dengan kondisi kita saat ini, bukan berarti kita gagal menjadi manusia. Penulis sudah melakukan pilihannya, tapi kita bisa memilih bergerak ke arah yang berbeda.
–dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ (hlm 7)

#ResensiOktober2020

0 Shares
Tweet
Share
Pin
Share